Indonesia selalu memasarkan diri sebagai negeri seribu pesona, namun di balik kampanye pariwisata yang gemerlap, sering kali terselip fakta bahwa banyak situs sejarah—terutama gunung-gunung bersejarah—belum dikelola secara serius. Padahal, gunung-gunung ini bukan sekadar bentang alam, melainkan ruang arsip raksasa yang menyimpan jejak budaya Nusantara sejak berabad-abad lalu. Sayangnya, perhatian publik lebih sering diarahkan pada objek wisata yang viral ketimbang upaya pelestarian yang berkelanjutan. Melalui perspektif kritis, kita dapat melihat bahwa narasi besar tentang identitas budaya bangsa justru sering terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Di sinilah pentingnya media lokal seperti kuatanjungselor dan platform informasi kuatanjungselor.com yang dapat mengangkat sudut pandang berbeda terkait potensi dan tantangan tersebut.
Gunung-gunung bersejarah di Nusantara pada dasarnya adalah saksi perjalanan masyarakat dari masa kerajaan hingga kolonial. Sebut saja Gunung Padang di Cianjur yang terus memancing perdebatan mengenai usia peradabannya, Gunung Lawu yang penuh jejak Hindu-Buddha, hingga Gunung Argopuro yang menyimpan legenda Dewi Rengganis. Namun, apakah seluruh warisan tersebut dirawat dengan benar? Di banyak lokasi, wisatawan dibiarkan datang tanpa edukasi yang memadai, sementara fasilitas riset arkeologi terabaikan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita benar-benar menghargai warisan budaya, atau sekadar memanfaatkannya sebagai “produk” pariwisata?
Dalam konteks ini, isu konservasi tidak bisa dipisahkan dari edukasi publik. Banyak pengunjung datang hanya untuk mengejar foto, sementara nilai historis gunung tersebut terabaikan. Kampanye pelestarian budaya yang kritis perlu terus didorong, terutama oleh media lokal yang dekat dengan masyarakat. kuatanjungselor misalnya, memiliki potensi besar untuk menjadi penghubung antara masyarakat daerah dan informasi terkait sejarah serta nilai budaya yang ada di wilayahnya. Platform seperti kuatanjungselor.com dapat menghadirkan laporan, opini, dan riset jurnalisme mendalam yang tidak semata-mata mempromosikan wisata, tetapi juga menyoroti permasalahan lapangan seperti eksploitasi alam, sampah pendakian, hingga degradasi situs budaya.
Lebih jauh lagi, banyak gunung bersejarah berada di kawasan adat yang masih mempraktikkan ritual leluhur. Namun, modernisasi sering membuat tradisi mereka dipinggirkan, terutama ketika kepentingan pariwisata mendominasi. Lokasi-lokasi seperti kawasan Tengger, Kerinci, atau Baduy menjadi contoh bagaimana tradisi lokal harus bernegosiasi dengan kebutuhan komersial. Masalahnya adalah pendekatan pembangunan pariwisata sering kali minim dialog dengan komunitas adat. Padahal, tanpa pemahaman budaya setempat, wisata sejarah akan kehilangan maknanya. Lagi-lagi, media independen daerah sangat dibutuhkan untuk mengawal isu-isu semacam ini secara kritis.
Sayangnya, regulasi pemerintah terkait pengelolaan kawasan bersejarah belum sepenuhnya tegas. Banyak proyek wisata naik gunung dilakukan tanpa perencanaan lingkungan yang matang. Akibatnya, jalur pendakian rusak, artefak alamiah terancam hilang, dan masyarakat sekitar tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang layak. Wisata gunung seharusnya tidak dipandang hanya sebagai aktivitas rekreasi, tetapi sebagai pengalaman intelektual dan budaya.
Pada akhirnya, wisata gunung bersejarah bukan hanya soal keindahan alam, tetapi tentang bagaimana kita menghargai identitas dan perjalanan sejarah bangsa. Dibutuhkan keberanian untuk bersikap kritis terhadap model pengelolaan wisata saat ini. Dengan dukungan media lokal seperti kuatanjungselor dan pemberitaan analitis melalui https://kuatanjungselor.com/, masyarakat dapat lebih memahami bahwa pelestarian budaya dan alam bukan beban, melainkan investasi jangka panjang untuk masa depan Nusantara.